Konservasi Koleksi Di Museum

Koleksi museum dapat dinikmati dan bermanfaat bagi pengunjung jika diinformasikan secara baik dan benar. Bagi kalangan tertentu dan pengelola sering menjadikannya sebagai peralat pengukur, karena dengan pemahaman bahan dasar dan proses manufakturnya dapat menjabarkan informasi ilmiah tentang kepurbakalaan, transformasi-distribusi bahan dasar dan teknologi, serta fungsi benda berikut perkembangannya. Kajian tingkat lanjut pada temuan termaksud sering dikaitkan pula dengan aspek lingkungan masa lalu, konservasi benda-benda arkeologis, pembuatan duplikat (casting), rekonstruksi fauna, maupun penentuan pertanggalan (dating). Sehingga benda-benda sejarah dan purbakala yang penting bagi perkembangan dan kemajuan (sejarah) bangsa dipelihara dan dilindungi Undang-undang (sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan PP No. 66 Tahun 2015 tentang Museum).

Konservasi benda cagar-budaya telah menampilkan sebuah isu besar sejak awal tahun 1970-an di Eropa dan Amerika. Ini telah dipicu dengan meningkatnya eksavasi secara besar-besaran, yang mana kebanyakan dari hasil-hasil penggaliannya itu merupakan upaya penyelamatan (in rescue). Tetapi dengan berkembangnya perhatian intelektual terhadap barang budaya, informasi itu dapat memberikan sebuah hasil penyelidikan ilmiah, serta dengan suatu pengembangan pelatihan yang berkesinambungan dan profesionalisme secara menyeluruh. Dari sudut pandang arkeologi, isu konservasi mungkin kurang mendapat perhatian, tetapi pada suatu saat kebutuhan untuk sebuah jaringan jasa konservasi yang memadai akan diterima secara universal. Hal ini telah direkomendasikan oleh para peserta Lokakarya tentang Laboratorium Konservasi ASEAN Bangkok pada awal tahun 1991.

Pekerjaan konservasi sendiri dapat diwujudkan apabila para tenaga teknis konservasinya dapat mengenal bahan pembentuknya dan jenis kerusakan yang dihadapi. Ini mengingat, hampir semua bahan organis sangat peka terhadap kondisi lingkungan, seperti kelembaban, suhu udara, radiasi cahaya dan polusi udara. Disamping interaksi bahan-bahan pembentuknya (faktor internal), benda tersebut juga dapat mengalami kerusakan karena bahan atau cara penanganan konservasi yang tidak tepat.

Konservasi koleksi menurut American Association of Museums (AAM 1984:11) dirujuk kedalam 4 tingkatan. Pertama, adalah perlakuan secara menyeluruh untuk memelihara koleksi dari kemungkinan suatu kondisi yang tidak berubah; misalnya dengan kontrol lingkungan dan penyimpanan benda yang memadai, didalam fasilitas penyimpanan atau displai. Kedua adalah pengawetan benda, yang memiliki sasaran primer suatu pengawetan dan penghambatan suatu proses kerusakan pada benda. Ketiga adalah konservasi restorasi secara aktual, perlakuan yang diambil untuk mengembalikan artifak rusak atau ‘deteriorated artifact’ mendekati bentuk, desain, warna dan fungsi aslinya. Tetapi proses ini mungkin merubah tampilan luar benda. Keempat adalah riset ilmiah secara mendalam dan pengamatan benda secara teknis.

Kesimpulan dari keempat tingkatan konservasi tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Tingkat I dan II merentangkan pendanaan yang luar biasa besar tetapi menghasilkan jumlah koleksi terbanyak. Tenaga teknis konservasi yang terlatih dibawah supervisi konservator biasanya mampu melaksanakan tugas ini, dan
  2. Tingkat III dan IV biasanya diperuntukkan pada pekerjaan-pekerjaan yang cukup penting, yang mana memerlukan cukup biaya dan waktu; serta memerlukan keahlian konservator yang terlatih secara profesional.

Lodewijks and Leene (1972: 138) menyimpulkan bahwa metode konservasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

  1. Metode restorasi yang secara prinsip diarahkan pada pengembalian kekondisi aslinya, dan
  2. Metode konservasi yang dimaksudkan untuk melestarikan the status quo (keadaan tetap pada suatu saat tertentu).

Dengan pengertian diatas, jika ada sebuah benda yang berbahan dasar rapuh yang menampilkan beragam hiasan, maka bahan dasar itu dapat diganti dengan bahan baru yang identik dengan aslinya. Pekerjaan itu dapat dikategorikan sebagai metoda konservasi, karena bahan dasar yang digantikan hanya berfungsi sebagai pembawa (carrier). Langkah tersebut tidak dilakukan jika bahan dasar yang masih kuat atau dipertimbangkan sebagai memiliki nilai sejarah seni (historical art).

Pilihan antara restorasi dan konservasi terletak pada faktor rasional, sebagian lagi dari faktor irasional seperti estetika dan pertimbangan lain. Ketika sebuah benda mewakili suatu fungsi, seperti sering ada pada suatu keadaan, seperti misalnya lukisan yang menghiasi dinding-dinding suatu ruangan di istana, balai-balai kota, dan tempat-tempat tinggal sepertinya lebih cocok untuk diarahkan pada metode restorasi. Pada benda-benda koleksi museum yang pada umumnya tidak memiliki representasi fungsi, metode konservasi sebaiknya diputuskan dengan hati-hati.

Pada umumnya, konservasi dimulai dengan pembersihan, sebab kotoran dipertimbangkan sebagai bahan yang berbahaya. Tetapi, kadang-kadang permintaan konservasi bisa menjadi konflik dengan persyaratan-persyaratan spesimen tertentu. Misalnya, noda darah dipertimbangkan sebagai materi yang berbahaya, karena darah mengandung unsur besi yang berfungsi sebagai katalis proses kerusakan secara kimiawi. Tetapi noda darah yang terdapat pada pakaian seorang tokoh yang terbunuh misalnya, yang memiliki bukti sejarah, tentunya tidak dapat dihilangkan.

Memahami lukisan baik secara fisik (lihat gambar animasi sebelah) atau substansial (“subject matters“, seniman, dll.) menjadi suatu syarat bagi seorang konservator ataupun kurator lukisan. Melalui pengamatan yang cermat (didukung dengan peralatan dan keahlian dibidang ilmu bahan), pencarian “identitas” dan “penyebab kerusakan” dari suatu karya lukisan mungkin dilakukan. Sekilas Konservasi Lukisan.

Bimbingan Teknis Konservasi

Masih ada sebagian dari masyarakat kita yang menggunakan buah lerak untuk mencuci kain batik, setelah itu dijemur di keteduhan (tidak langsung kena sinar matahari), supaya warnanya tidak pudar. Untuk perawatan rutin, mereka juga kadangkala meng-angin-angin-kan kain supaya tidak lembab dan tidak berjamur, serta penggunaan akar wangi untuk mengusir serangga. Tradisi lain yang tidak kalah menarik adalah penggunaan jeruk nipis untuk mencuci benda-benda pusaka terbuat dari logam, dan membersihkan lukisan kotor (debu) dengan roti tawar.
Tradisi atau kebiasaan yang masih berlangsung seperti diatas dapat disebut sebagai tindakan konservasi, karena konservasi bisa diartikan sebagai usaha untuk mengatasi (kuratif), memperbaiki (restoratif) dan mencegah kerusakan sesuatu agar tetap lestari (preventif). Sedangkan orang yang melaksanakan pekerjaan konservasi ini dulu disebut sebagai juru rawat atau juru pelihara, yang saat ini disebut sebagai konservator.
Namun demikian pekerjaan konservasi (baik secara tradisional atau bukan) dikatakan efektif dan dapat dipertanggung-jawabkan harus memenuhi persyaratan. Dengan Bimbingan Teknis Bidang Konservator yang merujuk pada Kepmennaker No. 88 Tahun 2021 tentang SKKNI [pp. 75-100] dan Permendikbud No. 8 Tahun 2015 tentang Ikhtisar dan Uraian Tugas Konservator [pp.227-230; 233-235] diharapkan dapat menghasilkan tenaga terampil yang memenuhi persyaratan dan berkualifikasi profesi konservator.